Minggu, 04 Juli 2010
Bermain dengan Cahaya Bag. 2
Entah kenapa beberapa hari ini saya tertarik dengan dunia "LOMO" hmmm.... sebenarnya ada hal yg menarik pada setiap gambar yang di hasilkan oleh kamera "LOMO" tersebut,, salah satunya mempertegas objek apa yang di ambil serta perpaduan contras yang sangat menarik.... yaa saya juga merasa ada benarnya juga... diamana gambar yang dihasilkan oleh kamera digital terasa jauh lebih menarik daripada dengan kamera "LOMO" ini,,, yaa jangan salah juga dalam beberapa hari ini saya lagi asik-asik hunting gambar.. denagan kamera "LOMO"
Sabtu, 05 Juni 2010
Sabtu, 29 Mei 2010
At Last....
Atau merancang sebuah cerita tanpa pernah tahu seperti apa penutupnya?
Aku pernah.
Dan sayangnya, aku terlalu menikmati jalan ceritanya. Aku lupa, semua cerita harus memiliki muara. Seperti air sungai yang berkumpul di samudera.
Jangan anggap ini sebagai sebuah nasihat atau cerita bijak. Percayalah tidak ada yang bisa diambil dari cerita ini. It’s just a story of mine. And one of my stories is over now.
The story of my blue horizon turns into history.
***
Kau boleh percaya. Kalaupun tidak, juga tak apa. Ketika aku menuliskan ini, mendadak hujan turun. Bahkan tanpa rintik di awal. Gelegar petir menyambar, membuat kaca di coffee break sedikit bergetar.
Aku masih di sana, di tepi jendela. Getaran kaca menyadarkan aku kepada sesuatu. Refleks aku menoleh ke luar. Langit di atas sana tak lagi biru. Ia telah berubah kelabu.
Aku hanya ingin kau tahu. Hatiku tidak berubah menjadi abu. Pesan yang kau tinggalkan di salah satu account jaringan sosialku memang cukup membuat termangu. Setelah lama tak bertukar kabar, mendapati namamu ada di dalam inbox cukup membuatku berdebar.
To be honest, I already predicted what it was.
This was about the ending of our story.
Percayalah, aku tidak terkejut.
Oh, sedikit kehilangan. Tentu saja.
Dan ini yang justru lebih mengejutkan aku. Merasa kehilangan.
***
22 Januari 2010, pesan itu masuk ke inbox Fecebook.
Dari namanya saja aku sudah tahu. Engkaulah biru itu. Entah apa yang mendorongku untuk menunda membuka pesanmu.
Ini berbeda dari biasanya. Dulu, setiap kali mendapati namamu di inbox e-mail atau Facebook, aku selalu bergegas membukanya. Seharian, aku bisa tersenyum. Padahal, itu hanya e-mail singkat yang terkadang sekadar penanda kalau kita masih saling mengingat.
Entah mengapa hari ini aku tak ingin tergesa. Judul pesanmu pun sebenarnya tampak netral. Tak mengindikasikan apa pun. Hanya saja, sebuah suara yang berbisik halus di balik telinga, membuatku menunda membukanya. Ini terdengar tidak logis untuk orang yang realistis. Tapi, satu ketika kamu harus memercayai intuisi.
Ia memberitahumu sesuatu yang segera akan kauhadapi.
Dan dugaanku benar. Intuisi tidak pernah bisa diabaikan. Berteman baiklah. Sebab kenyataan akan menyusup diam-diam, menjelma firasat yang memberikan tanda untukmu dari balik sebuah kenyataan.
Apa yang disisakannya untukmu?
Kenangan.
Itu tak akan bisa kauhilangkan dari ingatan, sekalipun kau ingin menguburnya. Serapat apa pun.
Aku ingin mengingatnya sebagai sebuah cerita yang layak kita bayangkan, bisa sambil tersenyum, bisa juga sambil menghela napas. Bahkan mungkin suata saat, kita akan tergelak mengingat kebodohan-kebodohan yang kita lakukan.
Tak ada yang salah. Dan seperti yang kautuliskan. Sebagian dari kenangan itu sebaiknya memang tetap tersembunyi. Menjadi obrolan imajiner kita di meja makan.
…
…. I'm gonna let this story remain hidden deep inside. And remembering what happened on the night before you leave, inside the maroon red ***** skylark. Some memories are best kept hidden.
Tidak ada yang perlu berubah, selain mengingat semuanya sebagai sebuah cerita yang harus kita kenang dalam diam.
***
Angka 22 tak pernah istimewa buatku. Dan tiba-tiba dua angka kembar ini menjadi penanda yang cukup menarik untuk sebuah ucapan selamat menciptakan cerita baru.
Instead of goodbye sign, this number turns into a sign to say ‘Welcome to the new story of our life.’
Tak ada ucapan selamat tinggal yang perlu diucapkan. Karena tak ada yang benar-benar kita tinggalkan. Kau dan aku hanya berpindah ke cerita lain.
Dan ini yang mungkin membuat aku merasa kehilangan. Cerita kita sudah tak lagi berjalan pada plot yang sama.
Aku dan kau tak lagi berada dalam satu cerita.
***
Kata orang, ada terlalu banyak kebetulan dalam hidup. Tapi menurutku, ini bukan kebetulan. Segala sesuatunya sudah terencana. Ini pertanda. Alam memberi isyarat, dan kita membacanya. Hanya terkadang, kita tak pandai memberi makna.
Hujan berhenti ketika tulisan ini selesai.
Perlahan langit kembali biru.
Yep, some memories are best kept hidden.
I agree with you
Minggu, 16 Mei 2010
"Jogja Photograph de' Culture"
Senin, 03 Mei 2010
Buku yang mau saya cari... bagi yang baca tolong hub. saya jika punya info buku tsb.
Campbell, James. This is the Beat Generation: New York, San Francisco, Paris. Secker &Warburg: London, 1999. |
Cross, Nigel. The Common Writer: Life in Nineteenth Century Grub Street. Cambridge University Press: New York, 1985. |
Easton, Malcom. Artists and Writers in Paris: The Bohemian Idea. 1803-1867. St. Martin's Press: New York, 1964. |
Escholier, Raymond. Hugo, Roi De Son Siecle. Arthaud, Paris. 1970. (images used only) |
Foster, Edward Halsey. Understanding the Beats. University of South Carolina Press, 1992. |
Groos, Arthur, and Roger Parker. Giacomo Puccini: La Boheme. Cambridge University Press: Cambridge, 1986. |
Hugo, Victor. Hernani. Bordas, France. 1969. (images used only) |
Hugo, Victor. Les Miserables. The Modern Library: New York, 1992. |
Janson, H.W. History of Art: Third Edition. Harry N. Abrams/Prentice Hall, Inc.: New Jersey, 1986. |
Knepler, Henry, ed. Man About Paris: The Confessions of Arsene Houssaye. Victor Gollancz Ltd.: London, 1972. |
Machnin, Hannah. The Grisette as a Female Bohemian.History Department, Brown University: Providence, 2000. |
Seigel, Jerrold. Bohemian Paris: Culture , Politics, and the Boundaries of Bourgeois Life, 1830-1930. Elizabeth Sifton Books: New York, 1986. |
Starkie, Enid. Petrus Borel: The Lycanthrope, His Life and Times. Faber and Faber Ltd.: London, 1954. |
Thackeray, William Makepeace. Paris Sketchbook. Dana Estes & Company: Boston, 1840. |
Thackeray, William Makepeace. Thackerayana. Chatto and Windus: London, 1875. |
Wilson, Elizabeth. Bohemians: The Glamorous Outcasts. Rutgers University Press: New Jersey, 2000. |
Sabtu, 17 April 2010
Gilaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa......
Tanjung Priok, Spiral Kekerasan, dan Kita
Bung,
KORBAN JATUH lagi di Tanjung Priok. Berawal dari niat penguasa melalui Satpol PP menggusur lahan sengketa di mana ada makam yang konon keramat—Mbak Priok. Warga tak terima. Bentrok fisik tak terelakkan. Korban nyawa jatuh. Korban luka-luka berpuluh.
Duapuluh enam tahun sebelumnya, September 1984, kerusuhan juga pernah terjadi di Tanjung Priok. Konon berawal dari seorang aparat yang menutupi poster yang bertuliskan, ”wanita muslim wajib pakai jilbab” dengan koran yang telah dicelup air got. Warga tak terima, beberapa orang ditangkap oleh militer itu. Reaksi selanjutnya warga meminta agar anggotanya yang ditangkap dilepaskan—kalau tidak mereka akan mengerahkan massa. Karena tak ditanggapi, massa marah, kerusuhan pun terjadi, korban tak terelakkan. Isu yang berkembang menjadi penolakan rakyat terhadap azas tunggal pancasila, penolakan kerjasama dengan china, dan pembangkangan lain …
Tragedi 1984 itu dikenal dengan Pelanggaran HAM Tanjung Priok—sampai sekarang kasusnya dibuat mengambang. Kalaupun ada yang diadili—mengutip Yasraf A Pilliang—cumalah bayang-bayang, bukan kasus sekaligu aktor sesungguhnya. Yang barusan terjadi, 2010, biar mudah saya sebut saja Pelanggaran HAM Tanjung Priok II—walaupun untuk menetapkan itu harus ada investigasi dan pencarian fakta-fakta di lapangan.
Saya bukan ahli HAM, tapi sedikit banyak tahu, ketika negara menggunakan cara-cara kekerasan menghadapi rakyatnya bahkan sampai menimbulkan korban, bisa dipastikan sudah terjadi pelanggaran HAM disana. Apalagi tidak ada antisipasi yang cepat—padahal corak akan terjadi kerusuhan massa sudah dapat diduga.
Bung,
Mengapa bisa terjadi dua peristiwa di tempat—yang hampir—sama? Sama-sama menjatuhkan korban? Kenapa penguasa [dan juga rakyat] suka dengan cara-cara kekerasan untuk mengambil dan mempertahankan haknya?
Saya tak bisa menjawab semua itu. Tapi Dom Helder Camara, seorang aktivis anti kekerasan dari Brazilia, menjelaskan dengan teori spiral kekerasan. Jadi kekerasan yang yang dilakukan negara—bisa jadi dalam bentuk ketidakadilan—dibalas oleh rakyat dengan kekerasan, misalnya demo berdarah, pembangkangan, dll. Penguasa kemudia merespon itu dengan kekerasan juga—semisal Satpol PP, perpanjangan tangan penguasa itu, yang menggusur, memukul, menendang, … rakyat. Tentu rakyat tak diam, membalas lagi dengan kekerasan. Begitu selanjutnya.
“Ketika kekerasan susul-menyusul silih berganti, dunia jatuh ke dalam spiral kekerasan,” tegas Camara.
Bung,
Saya pikir bisa jadi spiral kekerasan itu yang telah terjadi di Tanjung Priok kemarin. Atau bahkan dalam kekerasan-kekerasan negara yang telah berlangsung selama ini. Sebenarnya kita telah terjebak dengan gulungan-gulungan spiral yang kian hari kian waktu bertambah besar dan menjerat dan menjepit tampa ampun. Akhirnya penguasa tak tahu lagi bagaimana menjalankan kekuasaanya kecuali dengan kekerasan. —bisa jadi—Juga kita.
Bung,
Kira-kira dengan apa kita memotong spiral itu?
NB:
Turut berduka-cita sedalam-dalamnya untuk orang-orang yang dikorban dalam kerusuhan Tanjung Priok.
Be a Normal
Normal adalah tidak berbeda dengan yang lain. Tidak aneh. Manusia berjalan menggunakan sepasang kaki, seekor kuda berlari dengan empat kakinya, itu normal.
Kalau begitu, siapa yang menetapkan manusia berjalan dengan sepasang kaki dan kuda berlari dengan empat kakinya?
Normal bukan ditetapkan, terjadi secara alamiah. Adaptif. Terjadi begitu saja.
Lalu bagaimana dengan orang yang dilahirkan buta? Apakah orang-orang akan menganggapnya normal?
Oh, tidak, tidak. Normal adalah proses generalisasi. Dari sebuah populasi lalu dengan metode-metode yang objektif dan akurat diambil beberapa sample yang mewakili populasi. Hasil amatan sample itulah normal. Jadi, dapat dikatakan bahwa normal adalah suatu hasil dari analisis statistika terhadap alam yang terjadi secara alamiah.
Bagaimana jika populasi itu adalah sebuah sekolah khusus tunanetra? Seluruh populasi adalah orang-orang buta. Apapun metode sampling yang digunakan, tentunya akan menghasilkan satu sample, orang buta. Lalu, disimpulkan buta adalah normal?
Bukan begitu, populasi yang digunakan haruslah semesta alam. Bukan sekumpulan kecil dari sebuah populasi yang besar. Untuk dapat menghasilkan normal, populasinya haruslah yang terbesar. Haruslah alam itu sendiri, karena normal itu alamiah.
Kalau begitu, kenapa normal ditetapkan demikian? Haruskah normal itu sebuah proses statistika dengan populasi terbesar, alamiah? Jadi, normal itu ditetapkan? Normal itu sebuah konvensi? Konvensi kalau orang buta adalah tidak normal, karena ada manusia yang tidak buta?
Ya. Menjadi normal ternyata hanyalah menjadi seperti apa yang telah di konvensikan. Buta adalah tidak normal, karena sample-sample yang mewakili populasi semesta adalah bukan orang-orang buta. Suatu saat, jika orang yang dapat melihat tinggal seorang saja, orang buta adalah normal.
Jadi, janganlah bersedih kawanku jika kau tidak bisa melihat. Jangan risau jika kau dianggap tidak normal. Tidak normal berarti diluar kebiasaan. Di luar kebiasaan berarti luar biasa. Luar biasa itu hebat. Bergembiralah kawan, ternyata kau orang yang hebat. Kau masih bisa menatap hidup walaupun tidak bisa melihat, kau sungguh hebat, amazing, sobat.
Aku menentukan Aku
Waktu cepat berputar, sulit menghentikan gerakannya, karena ya, memang itulah waktu. Berputar terus hingga kadang aku kelelahan mengejarnya, kesusahan menggapainya, tapi bagaimanapun tetap harus digapai dan dikejar. Lari jauh meninggalkan kemarin, terus mengejar yang esok. Kadang masih ku berlari mundur. Kakiku melangkah ke depan namun pandanganku tak henti menengok. Aku masih saja mengkhawatirkan yang lalu padahal yang terlewatkan itu tak sebegitunya penting untuk ditengok. Aku bingung akan arti dari memikirkan diri sendiri dan tak punya waktu untuk diri sendiri. Apa yang kulakukan sekarang? apakah menjalani sisi egoisme yang berlebihan, atau malah lupa mengisi kecukupan ego itu sendiri?.
Rasanya nggak ada yang sulit, dan rasanya nggak ada yang mustahil. Tapi diri dan pikiran kita sendiri yang menyulitkannya. Seperti aku, aku tahu aku bisa lari, tapi nyatanya aku masih saja berjalan pelan, pelan, pelan, dan belum juga sampai. Aku nggak menertawakan, aku nggak menangisi, aku hanya butuh lebih banyak energi pada batin, jiwa dan raga. Aku butuh itu dan aku tahu apa yang harus kulakukan. Mengisi kepercayaan diri, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Ada apa dengan "MALAM MINGGU" ?
Sejenak saya melihat-lihat akun facebook saya, dan ternyata sebagian teman-teman saya banyak yang menulis dalam profilnya mengenai rencana-rencana di malam minggu, atau malah ada juga yang bertanya-tanya akan kemana malam minggu ini, bahkan ada yang kesal karena ternyata dia tidak kemana-mana pada malam minggu ini.
melihat tulisan profil teman-teman tersebut, saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya ada apa seyh dengan malam minggu?
bila kita artikan secara normatif, memang malam minggu adalah malam yang sebenarnya biasa-biasa saj dengan malam-malam yang laian, mungkin perbedaan terbesar malam minggu denga malam yang lain adalah bahawa malam minggu adalah malam dimana adalah malam akir pekan, dmana pada hari minggu merupakan hari libur internasional, kecuali di beberapa negara, seperti Mesir yang liburnya pada hari jum’at.
mengingat hari malam minggu atau bis juga disebut sabtu malam adalah akhir pekan menjelang libur, maka memang banyak sekali tempat-tempat hiburan (bahasa gaulnya : hang out) yang beroperasi sampai tengah malam, atau bhakan sampai pagi.
Pergi bersama teman-teman, keluarga, atau bahkan pasangan merupakan suatu momen yang sangat menyenangkan di malam minggu, mungkin karena besoknya adalah hari libur, jadi tidak banyak pekerjaan yang dilakukan esoknya.
dari pantauan saya sendiri saja, setelah melewati beberapa malam minggu, sebuah gerai restoran cepat saji yang memang buka selama 24 jam, selalu dipenuhi oleh pengunjung, bahakan samapi lewat tengah malam pun selau dipenuhi oleh pengunjung. Pengelola tempat-tempat hiburan pun biasanya juga memanjakan pengunjungnya yang datang di malam minggu dengan menampilkan beberapa pertunjukkan khusus, lumayan lah sekalian melepas lelah dan penat setelah seminggu beraktifitas dengan rutinitas pekerjaan yang kadang-kadang bisa membuat stress.
malam minggu memang bagi sebagian orang memang dapat menciptakan sensasi tersendiri, tapi bagi sebagian orang yang tidak mempunyai rencana pada malam minggu pun masih banyak sebenarnya kegiatan bermanfaat yang dapat dilakukan, seperti mengakrabkan diri dengan keluarga. membaca. beribadah lebih banyak, atau malah bisa juga nongkrongi kost masing-masing..hehehehe…so, “Have a Nice Weekend”
Senin, 12 April 2010
Kamis, 08 April 2010
BODOH
Kuasa untuk memendam ini sudah di ambang batas, aku sudah tidak tahan lagi, sangat mengecewakan jika sesuatu yang kita kerjakan kurang di perhatikan apalagi kurang di hargai. Sesak tenyata dada ini melihat hal ini berhari-hari, ingin kucongkel matanya dan membenturkan kepalanya ke tembok sambil di masukin ke mesin penggiling biar habis sudah.... sangat tidak memuasakn sekali minggu ini banyak kebohongan yang aku tutup untuk tidak ku bicarakan ke DIA, sangat menyakitkan menipu dengan senyuman lalu berpaling pergi dari hadapanya, aku sudah tidak tahan harus seperti ini terus kenapa ini jadi susah untuk aku lakukakan kenapa dengan diriku ini, seperti ada anjing yang setiap hari masuk ke otakku dan mengencingi isi kepalaku, bodoh... inilah sebenarnya diriku.
Rabu, 07 April 2010
Selasa, 06 April 2010
Tenggelam
Dialog
Aku hanya seorang Aku
Mungkin ini bisa dibilang rasa malu yang aku rasakan. Terkadang aku merasa seperti anak kecil, terlihat menyebalkan memang. Tapi jiwa ini mengalir ke arah yang seperti itu, dan diri ini terbawa arus didalamnya. Aku sering mengalami suasana emosional yang kronis sehingga menyebabkan stuktur kepribadian aku tempramen. Tempramen disini maksudnya adalah mudahnya turun-naik sarana emosional. Aku lebih senang menyebutnya psiekspresionis. Maka dari itu maafkan aku. Maafkan aku yang senang melamun, berenang dalam pikiranku, terkadang suka melembarkan batu kecil kedalamnya sehingga menciptakan riak, riak yang bergelombang menjadikan kata-kata. Maafkan aku yang selalu mengeluh disampingmu, karena aku hanya ingin dimanja olehmu. Mungkin aku pun malu bertelanjang berlarian didepan banyak orang. Maafkan aku yang belum bisa berdiri sendiri, sebenarnya aku bukan penurut, aku hanya saja senang kalau aku diperintah. Dengan diperintah aku tahu ada orang yang peduli akan keberadaan aku. Bukannya aku tidak tahu, aku hanya ingin diberitahu. Maafkan aku yang menyukai hal-kal kecil yang kebanyakan orang pikir tidak penting. Seperti halnya, aku menyukai neutron dan proton yang melilit diantara sel atom. Semoga kamu bisa menerimaku sebagai “aku”.