Apakah kalian pernah melewati satu fase di mana kalian memulai sesuatu tanpa merencanakan akhirnya?
Atau merancang sebuah cerita tanpa pernah tahu seperti apa penutupnya?
Aku pernah.
Dan sayangnya, aku terlalu menikmati jalan ceritanya. Aku lupa, semua cerita harus memiliki muara. Seperti air sungai yang berkumpul di samudera.
Jangan anggap ini sebagai sebuah nasihat atau cerita bijak. Percayalah tidak ada yang bisa diambil dari cerita ini. It’s just a story of mine. And one of my stories is over now.
The story of my blue horizon turns into history.
***
Kau boleh percaya. Kalaupun tidak, juga tak apa. Ketika aku menuliskan ini, mendadak hujan turun. Bahkan tanpa rintik di awal. Gelegar petir menyambar, membuat kaca di coffee break sedikit bergetar.
Aku masih di sana, di tepi jendela. Getaran kaca menyadarkan aku kepada sesuatu. Refleks aku menoleh ke luar. Langit di atas sana tak lagi biru. Ia telah berubah kelabu.
Aku hanya ingin kau tahu. Hatiku tidak berubah menjadi abu. Pesan yang kau tinggalkan di salah satu account jaringan sosialku memang cukup membuat termangu. Setelah lama tak bertukar kabar, mendapati namamu ada di dalam inbox cukup membuatku berdebar.
To be honest, I already predicted what it was.
This was about the ending of our story.
Percayalah, aku tidak terkejut.
Oh, sedikit kehilangan. Tentu saja.
Dan ini yang justru lebih mengejutkan aku. Merasa kehilangan.
***
22 Januari 2010, pesan itu masuk ke inbox Fecebook.
Dari namanya saja aku sudah tahu. Engkaulah biru itu. Entah apa yang mendorongku untuk menunda membuka pesanmu.
Ini berbeda dari biasanya. Dulu, setiap kali mendapati namamu di inbox e-mail atau Facebook, aku selalu bergegas membukanya. Seharian, aku bisa tersenyum. Padahal, itu hanya e-mail singkat yang terkadang sekadar penanda kalau kita masih saling mengingat.
Entah mengapa hari ini aku tak ingin tergesa. Judul pesanmu pun sebenarnya tampak netral. Tak mengindikasikan apa pun. Hanya saja, sebuah suara yang berbisik halus di balik telinga, membuatku menunda membukanya. Ini terdengar tidak logis untuk orang yang realistis. Tapi, satu ketika kamu harus memercayai intuisi.
Ia memberitahumu sesuatu yang segera akan kauhadapi.
Dan dugaanku benar. Intuisi tidak pernah bisa diabaikan. Berteman baiklah. Sebab kenyataan akan menyusup diam-diam, menjelma firasat yang memberikan tanda untukmu dari balik sebuah kenyataan.
Apa yang disisakannya untukmu?
Kenangan.
Itu tak akan bisa kauhilangkan dari ingatan, sekalipun kau ingin menguburnya. Serapat apa pun.
Aku ingin mengingatnya sebagai sebuah cerita yang layak kita bayangkan, bisa sambil tersenyum, bisa juga sambil menghela napas. Bahkan mungkin suata saat, kita akan tergelak mengingat kebodohan-kebodohan yang kita lakukan.
Tak ada yang salah. Dan seperti yang kautuliskan. Sebagian dari kenangan itu sebaiknya memang tetap tersembunyi. Menjadi obrolan imajiner kita di meja makan.
…
…. I'm gonna let this story remain hidden deep inside. And remembering what happened on the night before you leave, inside the maroon red ***** skylark. Some memories are best kept hidden.
Tidak ada yang perlu berubah, selain mengingat semuanya sebagai sebuah cerita yang harus kita kenang dalam diam.
***
Angka 22 tak pernah istimewa buatku. Dan tiba-tiba dua angka kembar ini menjadi penanda yang cukup menarik untuk sebuah ucapan selamat menciptakan cerita baru.
Instead of goodbye sign, this number turns into a sign to say ‘Welcome to the new story of our life.’
Tak ada ucapan selamat tinggal yang perlu diucapkan. Karena tak ada yang benar-benar kita tinggalkan. Kau dan aku hanya berpindah ke cerita lain.
Dan ini yang mungkin membuat aku merasa kehilangan. Cerita kita sudah tak lagi berjalan pada plot yang sama.
Aku dan kau tak lagi berada dalam satu cerita.
***
Kata orang, ada terlalu banyak kebetulan dalam hidup. Tapi menurutku, ini bukan kebetulan. Segala sesuatunya sudah terencana. Ini pertanda. Alam memberi isyarat, dan kita membacanya. Hanya terkadang, kita tak pandai memberi makna.
Hujan berhenti ketika tulisan ini selesai.
Perlahan langit kembali biru.
Yep, some memories are best kept hidden.
I agree with you
Sabtu, 29 Mei 2010
Minggu, 16 Mei 2010
"Jogja Photograph de' Culture"
Berbulan-bulan, berhari-hari, berjam-jam..... akhirnya sampai juga pada puncaknya... ekh belum deng..... masih 80%.... mudah-mudahan bisa 100%.... hahahahah bela-belain 3 minggu gag kuliah, pastinya sukses..... hmmm.. maka dari itu saya ARYA berjanji dan bersumpah mudah-mudahan seluruh dedikasi yg saya beri pada acara ini bisa berguna dan lebih bagus lagi apabila berjalan dengan baik dan sukses tentunya..... amien
Senin, 03 Mei 2010
Buku yang mau saya cari... bagi yang baca tolong hub. saya jika punya info buku tsb.
Campbell, James. This is the Beat Generation: New York, San Francisco, Paris. Secker &Warburg: London, 1999. |
Cross, Nigel. The Common Writer: Life in Nineteenth Century Grub Street. Cambridge University Press: New York, 1985. |
Easton, Malcom. Artists and Writers in Paris: The Bohemian Idea. 1803-1867. St. Martin's Press: New York, 1964. |
Escholier, Raymond. Hugo, Roi De Son Siecle. Arthaud, Paris. 1970. (images used only) |
Foster, Edward Halsey. Understanding the Beats. University of South Carolina Press, 1992. |
Groos, Arthur, and Roger Parker. Giacomo Puccini: La Boheme. Cambridge University Press: Cambridge, 1986. |
Hugo, Victor. Hernani. Bordas, France. 1969. (images used only) |
Hugo, Victor. Les Miserables. The Modern Library: New York, 1992. |
Janson, H.W. History of Art: Third Edition. Harry N. Abrams/Prentice Hall, Inc.: New Jersey, 1986. |
Knepler, Henry, ed. Man About Paris: The Confessions of Arsene Houssaye. Victor Gollancz Ltd.: London, 1972. |
Machnin, Hannah. The Grisette as a Female Bohemian.History Department, Brown University: Providence, 2000. |
Seigel, Jerrold. Bohemian Paris: Culture , Politics, and the Boundaries of Bourgeois Life, 1830-1930. Elizabeth Sifton Books: New York, 1986. |
Starkie, Enid. Petrus Borel: The Lycanthrope, His Life and Times. Faber and Faber Ltd.: London, 1954. |
Thackeray, William Makepeace. Paris Sketchbook. Dana Estes & Company: Boston, 1840. |
Thackeray, William Makepeace. Thackerayana. Chatto and Windus: London, 1875. |
Wilson, Elizabeth. Bohemians: The Glamorous Outcasts. Rutgers University Press: New Jersey, 2000. |
Langganan:
Postingan (Atom)