Sabtu, 17 April 2010

Tanjung Priok, Spiral Kekerasan, dan Kita


Bung,

KORBAN JATUH lagi di Tanjung Priok. Berawal dari niat penguasa melalui Satpol PP menggusur lahan sengketa di mana ada makam yang konon keramat—Mbak Priok. Warga tak terima. Bentrok fisik tak terelakkan. Korban nyawa jatuh. Korban luka-luka berpuluh.

Duapuluh enam tahun sebelumnya, September 1984, kerusuhan juga pernah terjadi di Tanjung Priok. Konon berawal dari seorang aparat yang menutupi poster yang bertuliskan, ”wanita muslim wajib pakai jilbab” dengan koran yang telah dicelup air got. Warga tak terima, beberapa orang ditangkap oleh militer itu. Reaksi selanjutnya warga meminta agar anggotanya yang ditangkap dilepaskan—kalau tidak mereka akan mengerahkan massa. Karena tak ditanggapi, massa marah, kerusuhan pun terjadi, korban tak terelakkan. Isu yang berkembang menjadi penolakan rakyat terhadap azas tunggal pancasila, penolakan kerjasama dengan china, dan pembangkangan lain …

Tragedi 1984 itu dikenal dengan Pelanggaran HAM Tanjung Priok—sampai sekarang kasusnya dibuat mengambang. Kalaupun ada yang diadili—mengutip Yasraf A Pilliang—cumalah bayang-bayang, bukan kasus sekaligu aktor sesungguhnya. Yang barusan terjadi, 2010, biar mudah saya sebut saja Pelanggaran HAM Tanjung Priok II—walaupun untuk menetapkan itu harus ada investigasi dan pencarian fakta-fakta di lapangan.

Saya bukan ahli HAM, tapi sedikit banyak tahu, ketika negara menggunakan cara-cara kekerasan menghadapi rakyatnya bahkan sampai menimbulkan korban, bisa dipastikan sudah terjadi pelanggaran HAM disana. Apalagi tidak ada antisipasi yang cepat—padahal corak akan terjadi kerusuhan massa sudah dapat diduga.

Bung,

Mengapa bisa terjadi dua peristiwa di tempat—yang hampir—sama? Sama-sama menjatuhkan korban? Kenapa penguasa [dan juga rakyat] suka dengan cara-cara kekerasan untuk mengambil dan mempertahankan haknya?

Saya tak bisa menjawab semua itu. Tapi Dom Helder Camara, seorang aktivis anti kekerasan dari Brazilia, menjelaskan dengan teori spiral kekerasan. Jadi kekerasan yang yang dilakukan negara—bisa jadi dalam bentuk ketidakadilan—dibalas oleh rakyat dengan kekerasan, misalnya demo berdarah, pembangkangan, dll. Penguasa kemudia merespon itu dengan kekerasan juga—semisal Satpol PP, perpanjangan tangan penguasa itu, yang menggusur, memukul, menendang, … rakyat. Tentu rakyat tak diam, membalas lagi dengan kekerasan. Begitu selanjutnya.

“Ketika kekerasan susul-menyusul silih berganti, dunia jatuh ke dalam spiral kekerasan,” tegas Camara.

Bung,

Saya pikir bisa jadi spiral kekerasan itu yang telah terjadi di Tanjung Priok kemarin. Atau bahkan dalam kekerasan-kekerasan negara yang telah berlangsung selama ini. Sebenarnya kita telah terjebak dengan gulungan-gulungan spiral yang kian hari kian waktu bertambah besar dan menjerat dan menjepit tampa ampun. Akhirnya penguasa tak tahu lagi bagaimana menjalankan kekuasaanya kecuali dengan kekerasan. —bisa jadi—Juga kita.

Bung,

Kira-kira dengan apa kita memotong spiral itu?


NB:

Turut berduka-cita sedalam-dalamnya untuk orang-orang yang dikorban dalam kerusuhan Tanjung Priok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar